@Suly Vegetarian Resort & Spa, Ubud, Bali
Belum lama ini saya berkunjung ke Pati, Jawa Tengah. Dari Jakarta naik pesawat dan mendarat di kota Semarang. Pesawat yang saya tumpangi sempat delay 1 jam, dan kami baru mendarat di Semarang pukul 1 siang. Sampai di Bandar Udara Ahmad Yani Semarang, sepupu saya sudah menjemput. Kami makan siang di restoran Nglaras Roso di Jl. Ahmad Yani. Sebelum lanjut ke Pati, kami sempat berputar-putar di kota bandeng itu. Mampir ke tempat kuliner ikon kota Semarang, yaitu lumpia. Juga mampir di tempat kos keponakan saya yang sedang mengambil kuliah kedokteran di kota itu.
Sore itu Semarang diguyur hujan. Di sebuah perempatan, mobil kami berhenti di depan lampu lalu lintas. Di tengah hujan yang cukup deras, seorang anak mengenakan jas hujan menjajakan koran kepada pengendara yang sedang berhenti di lampu merah. Tidak ada seorangpun yang membeli. Sampai saat mobil kami berputar arah, saya terus memperhatikan anak tersebut yang tidak mempedulikan situasi cuaca dan terus menjajakan surat kabar.
Pati berjarak kurang lebih 85 Km dari Semarang; waktu perjalanan ditempuh sekitar 2 sampai 2,5 jam. Hari mulai gelap saat kami meninggalkan kota Semarang. Kami harus melewati kota Demak, kota kretek Kudus, baru kami akan sampai di Pati. Jalan raya antara Semarang – Demak tidak begitu besar, namun cukup ramai dilalui kendaraan terutama kendaraan-kendaraan besar seperti bis dan truk. Rupanya ini adalah jalur Pantura yang memang banyak terdapat kendaraan-kendaraan besar.
Saat berada di jalan tersebut, hari sudah benar-benar gelap. Sepupu saya mengusulkan agar sebelum memasuki Kudus, kami berhenti dulu untuk mengisi perut. Sepanjang perjalanan saya tidak tidur, sibuk memperhatikan pemandangan dan sekeliling saya. Ini memang kebiasaan saya sejak dulu. Saya tidak ingin cepat-cepat sampai di tujuan. Setiap momen dalam perjalanan ini benar-benar saya nikmati.
Tiba-tiba saya melihat sebuah benda putih di jalanan aspal, agak ke pinggir. Benda itu bergerak-gerak, seperti meronta-ronta. Awalnya saya tidak tahu benda apa yang bergerak itu. Tetapi ketika mobil mendekat dan melewatinya, saya seperti melihat seekor kucing yang belum dewasa berwarna putih tergeletak di aspal dan meronta-ronta. Rupanya kucing itu baru terserempet kendaraan. Saya terkejut dan berusaha memperhatikan lebih seksama, tapi mobil kami sudah melaju kencang melewatinya.
Saya seperti mengalami dejavu. Bertahun-tahun yang lalu, di pantai Jepara, saya dan sepupu saya yang ini juga, baru saja meninggalkan pantai ketika saya melihat seekor kucing yang tanpa sengaja terlindas mobil kami. Kucing itu belum mati, meronta-ronta di pasir ketika mobil kami melaju meninggalkannya dalam keadaan kesakitan, barangkali juga sedang menghadapi kematian. Tidak ada yang melihat kecuali saya, dan saat itu saya tidak berusaha meminta supir untuk berhenti dan menolong kucing tersebut. Sejak itu perasaaan menyesal terus menghantui. Saya tidak dapat melupakan kucing tersebut.
Kembali ke jalan di Demak, kejadian itu seperti terulang kembali. Bedanya, bukan mobil kami yang menabrak. Lagi-lagi saya menyaksikan pemandangan memilukan ini, dan lagi-lagi sepertinya hanya saya yang melihat. Atau barangkali pak supir melihat, tapi tidak peduli? Saya berpikir untuk meminta supir berhenti dan saya akan turun memeriksa. Setidaknya saya harus membawanya ke pinggir agar tidak terlindas kendaraan yang lain. Tapi setelah itu, apa? Meninggalkannya di pinggir jalan? Membawanya ke dokter hewan, tapi di mana?
Saya benar-benar tidak dapat mengambil keputusan. Pikiran saya buntu. Saya tidak bisa mendadak minta berhenti kepada supir, karena itu sangat berbahaya. Sementara itu jarak antara kami dan kucing itu semakin jauh. Saya ragu-ragu apakah saya akan meminta supir untuk berbalik arah. Tapi saya teringat ibu dan sepupu saya yang sudah lelah dan ingin segera sampai di rumah.
Pikiran saya masih sibuk ketika, lagi-lagi, saya kembali melihat benda putih, bergerak, kali ini di tengah jalan. Apa lagi ini? Saya menahan napas. Sekarang saya benar-benar memperhatikan; saya sampai mencondongkan tubuh ke depan agar bisa melihat lebih jelas. Kebetulan mobil berjalan sedikit lebih lambat karena di depan agak macet. Dan apa yang saya lihat? Potongan kantong plastik! Plastik berwarna putih itu bergerak-gerak karena tertiup angin.
Saya kembali bersandar dengan lega. Setelah menarik napas beberapa kali, terpikir oleh saya, benda putih sebelumnya kemungkinan juga adalah sebuah potongan kantong plastik. Gerakannya yang tertiup angin memang mirip dengan gerakan kaki kucing yang sedang meronta-ronta. Tapi, apakah saya yakin dengan yang saya lihat sebelumnya? Kucing, atau plastik?
Are You Sure Of Your Perceptions?
Pengalaman ini mengingatkan saya pada kalimat dari seorang Zen master, Thich Nhat Hanh, “Are you sure of your perceptions?” Apakah Anda yakin dengan persepsi Anda? Persepsi dibentuk dari pengalaman, dari apa yang kita lihat, dan kita dengar. Tapi masalahnya, indera kita sering menipu. Kita tidak bisa seratus persen mempercayai apa yang kita lihat dan dengar, apalagi jika sesuatu itu berasal dari katanya; katanya si A, katanya si B. Yang repot, kita membuat persepsi, lalu bereaksi atas dasar persepsi kita sendiri, tanpa menyelidiki terlebih dahulu kebenaran persepsi kita.
Banyak orang terombang-ambing dan terpancing oleh berita-berita hoax, karena mereka mudah percaya dengan apa yang mereka lihat dan dengar.
Sampai keesokan harinya, saya masih bertanya-tanya benda apakah yang saya lihat pertama kali. Seekor kucing, atau plastik. Ada perasaan sedih dan menyesal, jika benar itu seekor kucing yang sedang kesakitan, saya tidak berhenti untuk menolongnya. Saya merasa kecewa dengan diri saya sendiri, yang mengaku penyayang hewan, tapi tidak melakukan apa-apa ketika ada hewan yang menderita. Saya merasa malu, karena ternyata anak penjaja koran yang saya lihat di perempatan jalan itu masih lebih baik daripada saya. Dia tidak peduli apa kata orang, saat hujan deras masih tetap bekerja menjual koran.
Ada banyak kesempatan untuk bisa berbuat baik, tapi sering saya abaikan, dengan alasan malu, takut diejek, dan banyak pembenaran lain. Berbuat baik tidak hanya kepada sesama manusia saja, tetapi kepada semua makhluk. Akhirnya yang bisa saya lakukan adalah berdoa, semoga saya memang benar-benar salah lihat. Atau seandainya itu adalah seekor kucing, semoga ada yang menolongnya dan ia tidak terlalu lama menderita. Tapi tetap saja masih ada penyesalan, karena saya tidak datang, melihat dan membuktikan sendiri. Ini akibat saya terlalu banyak berpikir. Satu kalimat lagi yang saya ingat kemudian, “Don’t think! Just do it!” Jika hendak berbuat baik, berbuat baiklah, jangan terlalu banyak mikir. Lakukan saja. Kalau tidak ingin terjadi penyesalan selama hayat di kandung badan.
Leave a Reply