Design a site like this with WordPress.com
Get started

INTERNATIONAL PIANO SUMMER COURSE PRAHA, 2015

Suatu hari di musim panas, saat saya sedang berjalan-jalan di sepanjang Sungai Vltava, saya mendengar seseorang memainkan Etude Chopin Opus 10 no. 12, atau yang lebih dikenal dengan judul Revolutionary.

Alunan Etude Chopin pada piano itu berasal dari gedung Prague Conservatory dan menarik perhatian saya. Bukan saja karena seseorang itu memainkan Chopin, tetapi karena di musim panas seperti ini, universitas termasuk conservatory (universitas khusus musik), sedang libur. Saya berhenti berjalan, menatap ke arah gedung dengan jendela-jendela tertutup itu. Tidak ada tanda-tanda kesibukan dari dalam gedung tua berwarna kuning tersebut. Hanya suara piano. Chopin, yang sedang mengisahkan chaos di tengah peristiwa Revolusi Prancis.

Saya mendengarkan untuk beberapa saat. Dari tepi Sungai Vltava, sungai yang membelah kota Praha, denting piano itu terdengar jelas. Prague Conservatory berada di tepi Sungai Vltava, dan hanya dipisahkan oleh jalanan kecil. Seperti apa dalamnya gedung itu ya? Pikir saya. Bagaimana rasanya belajar musik di sebuah konservatory? Bagaimana pengajar-pengajarnya?

Tidak pernah saya sangka, setahun kemudian, saya berada di dalam ruangan tempat Revolutionary Chopin pernah terdengar. Kali ini sayalah yang berlatih, di ruangan yang menghadap Sungai Vltava, tempat saya mendengarkan suara piano setahun sebelumnya. Mungkin hanya sebuah kebetulan, sebab dari sekian banyak ruangan di Conservatory yang luas ini, saya mendapat bagian di ruangan ini.

Setelah kembali ke Indonesia, saya mendapat informasi tentang International Piano Summer Course yang diadakan setiap tahun di kota Praha. Semacam master class, dimana para pianis profesional mendapat bimbingan dan arahan dari para dosen di konservatori. Biasanya untuk persiapan kompetisi piano atau resital. Tidak hanya pianis profesional, para amatiran seperti sayapun bisa mengikuti summer course.

Setiap peserta diwajibkan mempersiapkan dua buah komposisi klasik yang akan dimainkan di hadapan dosen. Kemudian dosen akan mengoreksi, memperbaiki dari segi teknik, interpretasi, dan penjiwaan lagu yang dimainkan. Saya memilih komposisi karya Beethoven; Sonata quasi una Fantasia (Moonlight Sonata) dan Autumn karya Peter Ilyich Tchaikovsky. Saya berlatih, mempersiapkan dua komposisi itu selama setahun. Saya sengaja memilih lagu dengan tempo lambat, karena saya pikir akan lebih mudah.

Jpeg

Selama beberapa bulan, sebelum saya berangkat, saya berkorespondensi dengan pembimbing saya nanti di Praha, Prof. Milan Langer yang juga Kepala Departemen Piano di Conservatory. Saya memberi informasi tentang komposisi apa yang akan saya mainkan, latar belakang pendidikan musik, dan pengalaman bermusik. International Piano Summer Course akan berlangsung selama dua minggu.

Perasaan saya campur aduk ketika saya sudah berada di Conservatory. Antara senang, takut, dan gugup. Senang karena saya bisa punya kesempatan belajar walau cuma sebentar di sini. Saya, yang latar belakang pendidikan bukan berasal dari sekolah musik, bisa diterima untuk sekedar mencicipi belajar musik klasik dari tempat asalnya. Pelajaran dengan Prof. Milan Langer belum dimulai, tapi pikiran saya sudah melayang ke masa depan. Mengira-ngira seperti apa penjelasannya nanti, apakah saya bisa mengikuti? Bagaimana kalau saya nanti tidak bisa memahami? Tentu saya akan merasa malu. Para siswa di sini pastilah pintar-pintar dan berbakat.

Hari pertama, adalah jadwal latihan dari jam 8 pagi sampai 2 siang. Besoknya baru ada jadwal bertemu dengan Prof. Langer. Ruangan 127, tempat saya latihan, amat luas, terletak di lantai 2. Seperti mimpi, saya menatap grand piano merk Petrof, buatan Republik Ceko. Ruangan ini memiliki jendela-jendela yang besar, menghadap Sungai Vltava. Dari tempat saya, pemandangan ke luar amat cantik. Prague Conservatory didirikan tahun 1808, dan merupakan salah satu conservatory tertua di Eropa. Adalah berkat jasa para aristokrat sehingga negara Ceko kini bisa memiliki sekolah musik yang cukup bergengsi di Eropa. Pada dinding tergantung foto-foto yang saya tidak tahu siapa; barangkali, kalau dilihat dari sosoknya, adalah para bangsawan. Di sudut ruangan terdapat wastafel, di depannya sebuah meja panjang dengan kursi-kursi mengelilingi. Sepanjang dinding di bawah jendela dan di dekat pintu masuk, berjajar kursi-kursi. Sebuah cermin seukuran badan manusia tergantung di dekat piano. Di ruang ini juga terdapat beberapa tanaman hias. Kesan saya adalah, sempurna.

Jpeg

Saya mulai berlatih Moonlight Sonata karya Beethoven. Entah sudah berapa ratus kali lagu ini diulang, tetapi tetap saja saya merasa belum sempurna. Selalu saja ada kesalahan, selalu ada yang kurang pas. Hal ini diperparah lagi ketika peserta di ruang sebelah juga berlatih. Ruangan-ruangan di sini tidak dilengkapi kedap suara, sehingga saya bisa mendengar dengan jelas suara piano dari ruang sebelah. Mendengar ia berlatih Dance of The Knights karya Prokofiev, membuat nyali saya ciut. Lagunya sungguh terdengar megah, dengan tingkat kesulitan yang tinggi. Beethoven mungkin akan murka kalau tahu pikiran saya, yang merasa bahwa Moonlight Sonata ini jadi terdengar tidak ada apa-apanya. Alih-alih berlatih, saya justru mendengarkan Prokofiev. Saya bisa mendengar suara derap langkah para ksatria yang siap berperang, lewat ritme di tangan kiri.

Saat akan ada lesson dengan Prof. Langer, saya merasakan sakit perut sejak malamnya. Ruangannya hanya berjarak beberapa meter dari ruangan saya. Saat melangkah menuju ruangannya, kaki saya terasa berat. Kedua tangan saya terasa dingin, meski cuaca sangat panas. Saya bisa merasakan keringat yang mengalir di punggung. Jantung saya berdetak amat keras, sampai-sampai saya merasa bisa mendengarnya. Lorong panjang yang saya lalui mengingatkan saya pada the green mile, lorong menuju tempat pelaksanaan hukuman mati. Mengapa saya berada di sini? Pikir saya. Membayangkan sebentar lagi saya akan bertemu dengan seorang Profesor Piano, yang entah sudah menghasilkan berapa pianis profesional kelas dunia, tiba-tiba saya merasa ingin pulang. Tempat ini tak lagi terlihat indah. Tempat ini jadi terlihat begitu menakutkan. Dan foto-foto di sepanjang lorong ini…seolah menatap dengan penuh selidik, makhluk asing yang seharusnya tidak berada di sini. Bahkan tatapan dalam foto-foto itu seperti penuh intimidasi, mengejek. Kalau saja ada kain, ingin rasanya saya menutup foto itu seperti dalam film Pengabdi Setannya Joko Anwar.

Jpeg

Saya memasuki ruangan Prof. Milan Langer. Sosoknya tinggi besar dengan wajah yang ramah.

Hello,” sapanya riang. Saya membalas sapanya dengan suara tercekat di tenggorokan. Ternyata dia bukan sesosok monster yang siap memangsa. Bukan singa atau harimau yang siap menerkam. Beberapa saat lalu  saya merasa seperti gladiator yang akan bertarung dengan seekor singa. Saya berjalan ke arah piano sambil melihat sekeliling. Tak ada tongkat untuk memukul. Tak ada kipas untuk dilempar saat kita salah memainkan not. Tak ada penggaris panjang untuk memukul tangan saat penjarian salah. Tak ada.

Tetapi drama belum berakhir. Ketika memainkan lagu, tangan dan jari-jari terasa beku. Amat sulit digerakkan. Pundak dan leher saya begitu tegang. Saya seperti membeku di tengah udara panas. Frozen in hell. Prof. Langer mendengarkan saya bermain dari awal hingga akhir. Belum ada komentar yang keluar. Barulah ketika saya diminta untuk mengulangi, sebentar-sebentar dia akan menyuruh saya berhenti. Ia akan mengoreksi cara saya menekan tuts piano, sehingga dapat menghasilkan suara yang diinginkan. Ia mengatakan bahwa saya harus bisa membedakan antara suara sopran yang lebih keras dan suara yang hanya menjadi latar belakang. Yang membuat sulit adalah, suara sopran yang dominan dimainkan oleh jari kelingking. Dari sini saya belajar, untuk tidak menganggap remeh sebuah lagu yang kita anggap mudah. Ternyata, bermain lagu dengan tempo lambat punya tantangan lebih dibandingkan lagu dengan tempo lebih cepat.

Bagaimana memainkan sebuah karya seperti Moonlight Sonata agar tidak terdengar membosankan? Menganalisanya dengan cermat, lalu memainkannya dengan seluruh indra, lagu itu jadi terdengar berbeda. Kesadaran penuh amat dibutuhkan di sini. Sensasi tubuh hingga ke ujung jemari, sadar tiap jari punya fungsi memainkan not dengan dinamika yang berbeda. Tidak asal memainkan not dengan benar. Apa yang dipikirkan Beethoven saat menciptakan lagu ini? Tiap orang bisa punya interpretasi berbeda-beda, dan itu tidak masalah. Saat kita memainkannya, meski itu karya orang lain, itu menjadi pengalaman kita sendiri. Rasa kita sendiri. Karena itu sebuah komposisi bisa terdengar berbeda-beda ketika dimainkan oleh pianis yang berbeda pula. Ada kalimat yang dikatakan Prof. Langer kepada saya, dan masih saya ingat hingga sekarang. Bahwa saya bermain piano terlalu berhati-hati.

Membahas Piano Sonata Beethoven ini ternyata tidak cukup sehari dua hari. Belum lagi lagu yang kedua, yang bagi saya lebih sulit. Saya agak menyesal memilih karya Tchaikovsky. Tapi tak ada waktu lagi untuk mengganti lagu. Saya yang terbiasa dan senang dengan sesuatu yang instant, mulai berpikir bagaimana caranya saya bisa bermain sempurna dalam waktu singkat. Di Charles Bridge, tak jauh dari Conservatory, terdapat patung seorang santo bernama St. Nepomuck. Konon, jika kita menyentuhnya sambil mengucapkan keinginan kita dalam hati, keinginan kita akan terkabul. Satu sore sepulang latihan, saya mampir ke jembatan tua itu dan menyentuh patung St. Nepomuck. Saya ingin bisa bermain piano dengan bagus.

Besoknya, hal yang sama tetap terjadi. Nervous, serasa berjalan di green mile saat menuju ruangan profesor, dan tetap saja setiap kali saya bermain baru beberapa bar, ia berkata, “Stop” Padahal saya merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Saya heran mengapa piano tidak dimasukkan ke dalam museum Torture Instrument, karena di sini, sepertinya piano menjadi alat untuk menyiksa orang. Bukan lagi sebagai alat musik.

Hingga suatu ketika, saat saya sedang menatap foto salah seorang aristokrat di ruang latihan, entah wangsit dari mana tiba-tiba muncul. Apa yang salah sih, dengan foto ini? Kenapa saya begitu kesal? Saya merasa diintimidasi oleh tatapan di foto ini? Bukankah foto besar di dinding itu hanyalah benda mati? Prokofiev mulai terdengar lagi dari ruang sebelah. Sekarang saya tahu, yang memainkannya adalah salah satu peserta Summer Course yang juga siswa Conservatory. Wajar saja kalau permainannya bagus. Sejak kecil sudah diarahkan bermusik. Belum lagi bakatnya, yang dibarengi dengan latihan delapan jam sehari.

Jpeg

Practice! Itulah kuncinya. Lalu sikap relax. Selama ini saya selalu ingin bermain sempurna. Saya ingin bisa menyamai mereka-mereka yang memang belajar di sekolah musik. Dari jumlah jam latihan saja sudah seperti bumi dan langit. Mereka rutin latihan setiap hari, minimal empat jam, tanpa libur. Sedangkan saya, latihan hanya kalau ingat. Saat sedang ingin latihan, saya bisa berlatih berjam-jam. Tapi setelah itu, bisa berminggu-minggu tidak menyentuh piano sama sekali. Tentu saja skill tidak akan terbentuk. Jadi, wajar saja kalau saya banyak dikoreksi. Yang sudah menjadi pianis profesional saja mengikuti course ini, bukankah ia juga butuh koreksi? Masih punya kekurangan? Semakin ingin saya menjadi sempurna, kesempurnaan itu justru semakin menjauh.

Menyadari itu semua, tiba-tiba ada satu perasaan muncul. Relax. Ada rasa lega, seolah semua beban terangkat. Saya menuju ruangan Prof. Langer dengan langkah ringan. Di depan pintu, saya bertemu seorang peserta dari Turki. Sebelumnya kami pernah bertemu dan berbincang. Ia bertanya apakah dia boleh ikut masuk dan melihat pelajaran saya. Tidak mungkin saya menolak, padahal sebetulnya saya ingin berkata, “Noooo!” Saya mulai merasakan ketegangan lagi di tangan dan pundak. Segera saya berkata pada diri sendiri, “Relax! Aku bukan siapa-siapa. Aku bukan berasal dari sekolah musik manapun, jadi wajar kalau saya melakukan kesalahan. Relax!”

Kami berdua masuk, dan kali ini saya menyapa Profesor dengan perasaan lebih tulus. Saya mengeluarkan partitur Autumn dari The Seasonsnya Peter Ilyich Tchaikovsky. Duduk di depan piano, saya tidak langsung memainkannya. Beberapa kali saya menarik napas. Saat perasaan saya sudah lebih tenang, saya baru mulai bermain. Saya tidak peduli lagi dengan kesalahan. Saya merasa jauh lebih santai. Saya hanya membiarkan semuanya mengalir.

Ruangan menjadi hening. Prof. Langer berdiri di sebelah piano. Teman saya duduk di belakang, sama sekali tak mengeluarkan suara atau melakukan gerakan apapun. Hanya ada musik. Tidak ada piano yang besar dan berat itu. Hanya musik. Saya bahkan hampir menangis saat musik itu begitu menyayat, begitu sedih, meskipun pemandangan musim gugur begitu indah. Saya bisa merasakan kesedihan akibat kehilangan, dari melodi-melodi itu. Hingga di akhir lagu, saya, kita sendiri yang menjadi redup, lalu hilang.

Begitu selesai memainkannya, Prof. Langer bertepuk tangan.

You played it nicely,” katanya. Inilah untuk pertama kalinya dia memuji. Saya hampir tidak mempercayai telinga saya.

“Lagu ini pernah saya mainkan sewaktu kompetisi piano di Rusia, beberapa tahun lalu. Sudah lama sekali,” ujarnya. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, suasana kali ini menjadi cair. Profesor bercerita saat mengikuti kompetisi di Rusia tersebut. Gedung tempat kompetisi itu berlangsung begitu besar dan indah. Sayang gedung itu kini sudah tidak ada lagi, lanjutnya. Pembicaraan berlanjut mengenai sejarah. Seharusnya gedung bersejarah seperti itu tidak dihancurkan, katanya lagi, mengungkapkan pendapatnya. Di akhir sesi hari itu kami melanjutkan obrolan kami di ruangan Prof. Langer. Teman saya dari Turki, lulusan sekolah menengah musik di Istanbul dan melanjutkan kuliah musik di kota yang sama.

“Tapi,” ujar Arda Arman, teman saya itu, “Saya tinggal dan bangun pagi di wilayah Asia, lalu belajar dan berlatih piano di wilayah Eropa. Lalu sorenya pulang kembali ke Asia!” Kami semua tertawa.

Sebuah kejutan bagi saya, bagaimana hanya dengan mengubah cara pandang dan berpikir bisa mengubah banyak hal. Ternyata apa yang menakutkan, segala drama selama ini hanya ada di pikiran saya saja. Saat saya lebih santai, lebih menerima diri saya apa adanya, mau mengakui kekurangan, semua ‘monster’ itu pergi dengan sendirinya. Prof. Langer menjadi jauh lebih ramah, orang-orang di sekitar menjadi lebih menyenangkan. Mungkin sebenarnya mereka memang ramah dan menyenangkan, tetapi saya tidak melihatnya karena selama ini saya hanya sibuk dengan si ‘aku’.

Saya berdiri di depan jendela besar di ruangan saya, memandangi Sungai Vltava. Pemandangan sekitar masih tetap sama. Tapi saya melihatnya berbeda. Pemandangan ini kembali menjadi indah. Meskipun ada mendung menggantung di sana. Tempat ini kembali mempesona, seperti ketika pertama kali saya melihatnya. Sebuah revolusi cara berpikir, cara melihat pikiran itu sendiri telah terjadi. Belajar piano ternyata tidak hanya melulu soal not, tetapi juga attitude. Disiplin, dan komitmen.

Terima kasih kepada semua guru-guru piano dan musik saya sejak kecil hingga sekarang, yang mendukung saya mengikuti Piano Summer Course. Juga guru, teman-teman di Komunitas Chan, yang memperkenalkan saya pada praktik mindfulness hingga memungkinkan saya untuk belajar dari segala hal, segala sesuatu, dan segala peristiwa. Semua adalah guru-guru saya.

Pembagian sertifikat di hari terakhir
Jpeg
Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Blog at WordPress.com.

Up ↑

%d bloggers like this: